Sejarah dan Informasi tentang Candi Gedongsongo Bandungan

Berita

Kawasan Candi Gedongsongo terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, dan Desa Jubelan, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Kawasan candi tersebut dibangun di perbukitan lereng Gunung Ungaran, pada ketinggian antara 1200 - 1400 m di atas permukaan laut. Secara astronomis terletak pada 110° 19’ 46” Bujur Timur dan 07° 12’ 6” Lintang Selatan dengan luas kawasan 230.161,590 m2. Dilihat dari ciri – ciri arsitekturnya, Candi Gedongsongo dibuat semasa dengan Candi Dieng, sekitar abad 7 sampai 9 Masehi. Selanjutnya, dari arca-arca yang ditemukan di Candi Gedongsongo, candi ini memiliki latar belakang agama Hindu. Nama Gedongsongo diberikan oleh penduduk setempat. "Gedong" berarti rumah atau bangunan dan "Songo" berarti sembilan. Jadi arti kata Gedongsongo adalah sembilan (kelompok) bangunan atau sembilan bangunan candi. Meskipun menurut nama yang diberikan adalah sembilan kelompok candi, namun saat ini hanya terdapat lima kelompok candi yang masih utuh. Kelima kelompok candi tersebut letaknya berpencar, dimulai dari Candi Gedong I yang terletak paling bawah hingga Candi Gedong V yang terletak paling atas. Bangunan candi-candi di Gedongsongo didirikan di atas puncak bukit yang berbeda-beda. Bangunan candi terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kaki candi (bhurloka) yang menggambarkan alam manusia, bagian tubuh candi (bhurvaloka) yang menggambarkan alam yang menghubungkan manusia dengan dewa, serta bagian atas candi (svarloka) yang menggambarkan alam kedewaan. Perhatian terhadap Candi Gedongsongo pertama kali dilaporkan oleh Loten pada tahun 1740. Kemudian pada tahun 1840 Th. Stamford Raffles menyebut sebagai Candi Banyukuning. Dalam bukunya yang berjudul The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena pada saat itu ditemukan tujuh kelompok bangunan. Van Braam menulis publikasi Candi Gedongsongo pada tahun 1825 dalam bentuk lukisan yang saat ini disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1865. Beberapa penelitian dilakukan oleh beberapa ahli dari Belanda, antara lain Van Stein Callenfels (1908) dan Knebel (1911). Pada tahun 1928 - 1929, Dinas Purbakala pada masa pemerintahan Belanda melakukan pemugaran terhadap Candi Gedong I dan tahun 1939 - 1931 dilakukan pemugaran Candi Gedong II. Masa pemerintahan Indonesia, sejak tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah) telah memugar Candi Gedong III, Candi Gedong IV (1 candi induk dan 8 candi perwara), dan Candi Gedong V. Upaya pelestarian dalam bentuk pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Candi Gedongsongo terus dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah bekerjasama dengan instansi serta lembaga terkait sampai sekarang. Lingkungan di sekitar Candi Gedongsongo dipenuhi pepohonan sehingga menimbulkan suasana tenang dan berhawa sejuk. Suasana hikmat yang tercipta pada tempat ibadah tersebut akan mendukung pelaksanaan ritual yang sempurna. Bangunan candi dan lingkungan sekitarnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pelestarian tidak hanya ditujukan kepada candinya tetapi juga lansekap yang perlu dipelihara agar suasana dan makna budaya yang dibangun oleh nenek moyang dahulu tidak hilang. Candi-candi di Gedongsongo dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan. Tidak diketahui apakah urutan dari bawah ke atas menunjukkan suatu tahapan ritual, hal ini belum dapat dijelaskan. Candi Gedongsongo menunjukkan karakter yang sangat spesifik yaitu perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal (kepercayaan terhadap roh nenek moyang) dan Hindu (Gunung sebagai tempat tinggal para dewa). Kedua religi tersebut mampu berdiri setara di Gedongsongo, ditunjukkan dengan pemberian arti baru, yaitu Gedongsongo sebagai tempat/persembahan roh nenek moyang yang telah menjadi dewa. Candi Gedongsongo menunjukkan pemujaan terhadap Parswadewata. Parswadewata adalah susunan dewa yang memiliki hubungan antara dewa utama dan dewa pengiring. Dewa utama ditempatkan pada bilik utama candi sedangkan dewa pengiring ditempatkan pada relung-relung luar candi. Parswadewata yang ditemukan di Candi Gedongsongo terdiri atas Durga, Ganesha dan Agastya. Sementara Parswadewata yang dikenal di India adalah Durga, Ganesha, dan Karttikeya. Di Kawasan Candi Gedongsongo selain ditemukan arca-arca Parswadewata (Durga, Ganesha dan Agastya) juga terdapat arca Mahakala dan Nandiswara. Mahakala dan Nandiswara bertugas sebagai penjaga pintu candi Hindu. Mahakala sebagai dewa waktu juga merupakan aspek Siwa dalam bentuk krodha (mengerikan). Demikian pula dengan Nandiswara yang merupakan aspek Siwa .